Sabtu, 05 Mei 2012

SUPPORT ME ANDHIKA PUSPITA SIWI TO REALIZE MY NOVEL.


Sinopsis dalam NOVEL: My Soul Have Been an Air
Oleh : Andhika Puspita Siwi

Jangan coba berani berbohong tak menangis ketika membaca novel ini. Kisah dalam novel ini telah dibuat semenarik mungkin hingga diharapkan pembaca seperti merasakan sama persis apa yang diungkapkan dalam kalimat-kalimat yang ada di dalam novel ini. Novel ini dirilis untuk memberikan motivasi tujuan cinta bagi siapapun yang belum tahu apa itu cinta, atau siapapun yang masih galau di Bumi ini.
Novel ini mengajarkan kepada kita apa  arti cinta yang sesungguhnya, dengan tokoh menarik sehingga membuat novel ini terlihat antik.
Cinta yang diukir oleh 3 insan manusia, Gyutso dari India, Sangay dari Hong Kong, dan tokoh aku(Siwi) dalam novel My Soul Have Been an Air ini sendiri dari Indonesia.
Gyutso, Sangay, dan aku (kami ber-3) bersahabat dan satu sekolah.
Tragedi ini berawal dari hasratku terhadap Gyutso. Suatu hari dengan bejatnya Gyutso menciumku, dan Sangay mengetahuinya. Dari pelarian Sangay melihat ku dan Gyutso lah aku mulai tahu bahwa Sangay mencintai Gyutso. Namun fakta apapapun aku harus tetap menjaga perasaan cintaku yang telah terlanjur terukir dalam hati.  Di samping itu hati kecilku berkata pula hingga membuatku sadar untuk melakukan berbagai cara supaya Gyutso mencintai Sangay. Dengan memberikannya puisi-puisi manis, dimana aku memakai buku diary merah hati dan berkata padanya bahwa ini milik Sangay, walaupun yang sesungguhnya itu hanyalah diary kosong semata.
Hingga akhirnya usaha tersebut berhasil, Gyutso akhirnya menjalin hubungan berpacaran dengan Sangay, yang membuat dada ini semakin sesak dan harus mencari pengobatan ke China, tinggal di sana dan menjadi warga negaranya.
Satu tahun kemudian sekolahku ( China’s International School / CIS ) mengadakan sister school atau pertukaran pelajar di Indonesia, yakni ISHS ( Indonesian Senior High School ) sekolah dimana aku, Gyutso, dan juga Sangay dulu.
Sesampai di sana kejadian tragis pada malam harinya ketika berada di lingkungan asrama ISHS bersama Gyutso dia bercerita bahwa Sangay difonis mati oleh tim Dokter. Aku kembali menasihatinya melalui puisi cinta dari diary merah hati yang dulu, hingga membangkitkan Gyutso dan membuat Sangay pulih kembali,
Empat hari setelah penugasanku di Indonesia selesai, aku kembali ke China.
Hingga aku dewasa berusia 25 tahun, aku menjadi seorang Dokter. Abdiku sebagai seorang Dokter kembali ditugaskan ke Tibet, sebuah kota yang terletak diantara Bangladesh dan China.
Matahari yang membakar kota tersebut membawa beberapa orang yang ingin berobat. Aku mendapati pasien-pasienku yang kebanyakan mengalami alergi pada kulit, dan sedikit demam.
Seorang anak laki-laki kecil imut berusia 4 tahun mendatangi dan membisikiku, “can you curing me without the medicine?” aku tertawa mendengar suara lugu itu, “why are you laugh?” aku mencium bibirnya yang manis dan menggendongnya menuju ruang praktik, aku kembali teringat Gyutso ketika dia mengatakan bahwa nama anak itu adalah Dhion.
Selesai aku mengobatinya, aku mengantarkannya pulang. Dia tinggal di sebuah rumah yang sangat mewah, mobilnya berjejer rapi di bagasi samping rumah.
Aku memasuki rumah itu dengan hati yang tak biasa, sungguh luar biasa kursi yang ada di ruang tamu itu sangat mengkilap, terbuat dari emas murni. “do you stay by self?” tanyaku pada anak itu, “no! I stayed together parents”, “what is their job?”, “they are the directure of one famous product in this town”, “wow… you are the lucky one, you are so rich!”. “this is for you” anak tersebut memberiku segelas anggur putih, “uh! I’m sorry, I’m not drunk. Do you like drunk, honey?” “no, I don’t like. I’m sorry I thought you are a drunker, so this is for you” dia memberikanku segelas kecil soda. Aku berjalan menuju ruang keluarga dan melihat beberapa patung, “It’s my God, don’t touch him”, “oh, I’m sorry I don’t know” .
“Dhioon!!!” teriak seorang dari luar.
Ketika suara itu bergeming mataku dalam tatapan sebuah figura yang berfotokan Gyutso dan Sangay. Sentak rasanya diri ini telah dikepung tawanan nyanyian buruk. Kepalaku berputar-putar, air mata ini sudah deras membanjiri pipi. Tanganku tak lagi kuat memegang gelas, hingga segelas soda dalam tangan ini jatuh.
Aku membalikkan badanku, dan ……
Gyutso berdiri tegak. “what happ… …pend”
aku lari dan meninggalkan istana itu.

Pagi itu aku kembali pada tugasku, pasien kecil itu mendatangiku lagi dan berkata mengapa aku meninggalkan rumah dan memecahkan gelasnya. Akupun mengambil kesempatan untuk menanyakan hal orangtua mereka.
“I lived in a glamourly, but…”
“but, what?” kemudian anak itu menjawab dengan tersedu-sedu bahwa kehidupannya yang mewah tak seimbang dengan keadaannya, ketika aku tanya kenapa anak itu menjelaskan bahwa ibunya sekarang sedang pada keadaan kritis.
Sangay berbaring tak berdaya di atas ranjang, mukanya pucat. Dengan sisa nafas, ia menggantung hidup, dan telah ku ketahui bahwa Sangay mempunyai kelainan pada jantungnya. Itu kenapa dia selalu terlihat basah.
Suatu hari aku minta kerjasama dengan tim Dokter untuk mencangkokkan jantung, dan mengambil darahku untuk didonorkan ke dalam diri Sangay, yang kebetulan DNA kami sama. Aku rasa aku telah menutupkan mataku dengan bangga, sebelum kepergianku aku menjelaskan semua pada anak kecil tersebut dan meninggalkan selembar surat padanya.
Melihat Sangay sembuh dan pulih kembali aku merasa sangat senang. Gyutso ada pada satu ruangan yang sama antara aku dan Sangay, tapi dia belum sadarkan bahwa aku telah tiada untuk dirinya. Dokter masuk dalam ruangan dengan suster-suster yang mendampinginya mulai mengecek satu-satu pasien yang ada di ruangan. Mengetahui detak Jantungku yang tak berjalan, suster itu menitikkan air mata dan menutup seluruh badanku dengan kain sambil membisikkan “selamat Dokter, Dokter berhasil membuat pasien pulih kembali. Abdi Dokter akan saya ingat sampai kapanpun. Surga telah menunggumu, Dok…” dia menggiringku menuju ruang mayat.
“Siwi!!” teriak Gyutso melihat aku tertutup kain.
“Siwi, Siwi!!! Don’t leave me!!!” teriak Gyutso.
Sebelum surga itu menjemputku, Tuhan memberikanku tujuh hari untuk melihat beberapa orang tersayang. Dimana di hari pertama aku melihat mama dan papa mendatangi ragaku dengan membawa deras air mata. Hari pertama itu aku melihat ragaku dibawa ke Indonesia untuk dimakamkan, bersama dengan Sangay, Gyutso dan Dhion mereka  menuju Indonesia.
Hari ke dua masih pada suasana sedih, Dhion mendatangi Gyutso dengan menceritakan semua hal menarik mengenaiku. Dimana betapa bangganya aku melihat Dhion sepintar ayahnya.
Hari ke tiga dimana Gyutso mulai mencari beberapa informasi mengenaiku melalui beberapa orang terdekat seperti Pak Kiwil, sopir pribadiku masa SMA, dan Pak Kiwil memberikannya sebuah kardus sepeninggalanku sebelum aku meninggalkan Indonesia pada saat itu. Di dalam kardus tersebut terdapat sebuah mahkota dengan kelopak bunga mawar yang telah mengering, gelang yang pernah ia beri, diary yang ada di dalam flashdisk dan juga buku diary kosong berwarna merah hati itu.
Hari ke empat dia mulai sadar betapa besarnya cintaku padanya, ketika dia mulai membuka isi diary di dalam flashdiskku.
Hari ke lima bersama dengan Sangay dan Dhion, Gyutso, memanjatkan pujiannya kepada Dewa memohon untuk keanugerahanku di surga. Aku melihat Gyutso menangis menatap Sangay dan ia merasakan bahwa diriku ada pada Sangay.
Hari ke enam Dhion mulai memberikan surat yang pernah aku titipkan itu kepada Gyutso. Gyuto memulai membacanya dengan hati sangat teriris, dia menyalahkan dirinya bahwa betapa bodoh cinta yang dimilikinya.
Hari ke-tujuh, hari terakhir dimana aku kali terakhir melihat mereka, terutama Gyutso.
Aku melihat Gyutso menggiring mobilnya menuju rumahku masa SMA itu dan bergegas ke taman mawar, yang sekarang telah dikembangkan oleh Pak Kiwil menjadi sebuah toko bunga mawar merah hati yang diberinya nama Siwie’s Heart Rose.
Dia mulai memetik satu bunga, dan merasakan kedatanganku ketika memejamkan mata sembari mencium kelopaknya. Ia melihatku berjalan menuju arahnya, dimana aku memakai pakaian putih bersih. Matahari semakin tenggelam dan cuaca mendung mulai hujan deras. Gyutso meraih jemariku, namun tangga surga telah turun, dan sayap di punggung mulai mengepak. Aku berjalan mundur di anak tangga dan berteriak,
“Aku sayang kamu!!!! Cintai Sangay seperti aku mencintaimu… hikss… aku akan senang di sini bersama Micky, kau tak usah mengkhawatirkanku”
Aku membisikkan sekali lagi “goodbye forever…”.
Tubuhku terlihat menjadi butiran udara, walaupun aku tak ada dan tak terlihat namun aku akan selalu memberimu nafas bagi hidupmu dan juga keluargamu. Langit semakin petang, hujanpun sebegitu derasnya mengakhiri perjalanan kisah tiga insan.




CREATED BY ANDHIKA PUSPITA SIWI
DATE DECEMBER 2010
ANYTIME I WILL POST IT IN ENGLISH
IF YOU FIND ANY SIMILAR THINGS(NAME, PLACE, ETC), FORGIVE ME BECAUSE THIS IS JUST A FICTITIOUS STORRY.
SUPPORT ME TO REALISE THIS NOVEL

Tidak ada komentar:

Posting Komentar