Sinopsis
dalam NOVEL: My Soul Have Been an Air
Oleh : Andhika Puspita Siwi
Jangan coba
berani berbohong tak menangis ketika membaca novel ini. Kisah dalam novel ini
telah dibuat semenarik mungkin hingga diharapkan pembaca seperti merasakan sama
persis apa yang diungkapkan dalam kalimat-kalimat yang ada di dalam novel ini.
Novel ini dirilis untuk memberikan motivasi tujuan cinta bagi siapapun yang
belum tahu apa itu cinta, atau siapapun yang masih galau di Bumi ini.
Novel ini
mengajarkan kepada kita apa arti cinta
yang sesungguhnya, dengan tokoh menarik sehingga membuat novel ini terlihat
antik.
Cinta yang
diukir oleh 3 insan manusia, Gyutso dari India, Sangay dari Hong Kong, dan
tokoh aku(Siwi) dalam novel My Soul Have Been an Air ini sendiri dari Indonesia.
Gyutso, Sangay,
dan aku (kami ber-3) bersahabat dan satu sekolah.
Tragedi ini
berawal dari hasratku terhadap Gyutso. Suatu hari dengan bejatnya Gyutso
menciumku, dan Sangay mengetahuinya. Dari pelarian Sangay melihat ku dan Gyutso
lah aku mulai tahu bahwa Sangay mencintai Gyutso. Namun fakta apapapun aku
harus tetap menjaga perasaan cintaku yang telah terlanjur terukir dalam
hati. Di samping itu hati kecilku
berkata pula hingga membuatku sadar untuk melakukan berbagai cara supaya Gyutso
mencintai Sangay. Dengan memberikannya puisi-puisi manis, dimana aku memakai
buku diary merah hati dan berkata padanya bahwa ini milik Sangay, walaupun yang
sesungguhnya itu hanyalah diary kosong semata.
Hingga akhirnya
usaha tersebut berhasil, Gyutso akhirnya menjalin hubungan berpacaran dengan
Sangay, yang membuat dada ini semakin sesak dan harus mencari pengobatan ke China, tinggal di sana dan menjadi warga negaranya.
Satu tahun
kemudian sekolahku ( China’s
International School
/ CIS ) mengadakan sister school atau pertukaran pelajar di Indonesia, yakni ISHS ( Indonesian Senior High
School ) sekolah dimana aku, Gyutso, dan juga
Sangay dulu.
Sesampai di sana kejadian tragis pada
malam harinya ketika berada di lingkungan asrama ISHS bersama Gyutso dia
bercerita bahwa Sangay difonis mati oleh tim Dokter. Aku kembali menasihatinya
melalui puisi cinta dari diary merah hati yang dulu, hingga membangkitkan
Gyutso dan membuat Sangay pulih kembali,
Empat hari
setelah penugasanku di Indonesia
selesai, aku kembali ke China.
Hingga aku
dewasa berusia 25 tahun, aku menjadi seorang Dokter. Abdiku sebagai seorang
Dokter kembali ditugaskan ke Tibet,
sebuah kota yang terletak diantara Bangladesh dan China.
Matahari yang
membakar kota
tersebut membawa beberapa orang yang ingin berobat. Aku mendapati
pasien-pasienku yang kebanyakan mengalami alergi pada kulit, dan sedikit demam.
Seorang anak
laki-laki kecil imut berusia 4 tahun mendatangi dan membisikiku, “can you
curing me without the medicine?” aku tertawa mendengar suara lugu itu, “why are
you laugh?” aku mencium bibirnya yang manis dan menggendongnya menuju ruang
praktik, aku kembali teringat Gyutso ketika dia mengatakan bahwa nama anak itu
adalah Dhion.
Selesai aku
mengobatinya, aku mengantarkannya pulang. Dia tinggal di sebuah rumah yang
sangat mewah, mobilnya berjejer rapi di bagasi samping rumah.
Aku memasuki
rumah itu dengan hati yang tak biasa, sungguh luar biasa kursi yang ada di
ruang tamu itu sangat mengkilap, terbuat dari emas murni. “do you stay by
self?” tanyaku pada anak itu, “no! I stayed together parents”, “what is their
job?”, “they are the directure of one famous product in this town”, “wow… you
are the lucky one, you are so rich!”. “this is for you” anak tersebut memberiku
segelas anggur putih, “uh! I’m sorry, I’m not drunk. Do you like drunk, honey?”
“no, I don’t like. I’m sorry I thought you are a drunker, so this is for you” dia
memberikanku segelas kecil soda. Aku berjalan menuju ruang keluarga dan melihat
beberapa patung, “It’s my God, don’t touch him”, “oh, I’m sorry I don’t know” .
“Dhioon!!!”
teriak seorang dari luar.
Ketika suara itu
bergeming mataku dalam tatapan sebuah figura yang berfotokan Gyutso dan Sangay.
Sentak rasanya diri ini telah dikepung tawanan nyanyian buruk. Kepalaku
berputar-putar, air mata ini sudah deras membanjiri pipi. Tanganku tak lagi
kuat memegang gelas, hingga segelas soda dalam tangan ini jatuh.
Aku membalikkan
badanku, dan ……
Gyutso berdiri
tegak. “what happ… …pend”
aku lari dan
meninggalkan istana itu.
Pagi itu aku
kembali pada tugasku, pasien kecil itu mendatangiku lagi dan berkata mengapa
aku meninggalkan rumah dan memecahkan gelasnya. Akupun mengambil kesempatan
untuk menanyakan hal orangtua mereka.
“I lived in a
glamourly, but…”
“but, what?”
kemudian anak itu menjawab dengan tersedu-sedu bahwa kehidupannya yang mewah
tak seimbang dengan keadaannya, ketika aku tanya kenapa anak itu menjelaskan
bahwa ibunya sekarang sedang pada keadaan kritis.
Sangay berbaring
tak berdaya di atas ranjang, mukanya pucat. Dengan sisa nafas, ia menggantung hidup,
dan telah ku ketahui bahwa Sangay mempunyai kelainan pada jantungnya. Itu
kenapa dia selalu terlihat basah.
Suatu hari aku
minta kerjasama dengan tim Dokter untuk mencangkokkan jantung, dan mengambil
darahku untuk didonorkan ke dalam diri Sangay, yang kebetulan DNA kami sama.
Aku rasa aku telah menutupkan mataku dengan bangga, sebelum kepergianku aku
menjelaskan semua pada anak kecil tersebut dan meninggalkan selembar surat padanya.
Melihat Sangay
sembuh dan pulih kembali aku merasa sangat senang. Gyutso ada pada satu ruangan
yang sama antara aku dan Sangay, tapi dia belum sadarkan bahwa aku telah tiada
untuk dirinya. Dokter masuk dalam ruangan dengan suster-suster yang
mendampinginya mulai mengecek satu-satu pasien yang ada di ruangan. Mengetahui
detak Jantungku yang tak berjalan, suster itu menitikkan air mata dan menutup
seluruh badanku dengan kain sambil membisikkan “selamat Dokter, Dokter berhasil
membuat pasien pulih kembali. Abdi Dokter akan saya ingat sampai kapanpun.
Surga telah menunggumu, Dok…” dia menggiringku menuju ruang mayat.
“Siwi!!” teriak
Gyutso melihat aku tertutup kain.
“Siwi, Siwi!!!
Don’t leave me!!!” teriak Gyutso.
Sebelum surga
itu menjemputku, Tuhan memberikanku tujuh hari untuk melihat beberapa orang
tersayang. Dimana di hari pertama aku melihat mama dan papa mendatangi ragaku
dengan membawa deras air mata. Hari pertama itu aku melihat ragaku dibawa ke Indonesia untuk dimakamkan, bersama dengan
Sangay, Gyutso dan Dhion mereka menuju Indonesia.
Hari ke dua
masih pada suasana sedih, Dhion mendatangi Gyutso dengan menceritakan semua hal
menarik mengenaiku. Dimana betapa bangganya aku melihat Dhion sepintar ayahnya.
Hari ke tiga
dimana Gyutso mulai mencari beberapa informasi mengenaiku melalui beberapa
orang terdekat seperti Pak Kiwil, sopir pribadiku masa SMA, dan Pak Kiwil
memberikannya sebuah kardus sepeninggalanku sebelum aku meninggalkan Indonesia
pada saat itu. Di dalam kardus tersebut terdapat sebuah mahkota dengan kelopak
bunga mawar yang telah mengering, gelang yang pernah ia beri, diary yang ada di
dalam flashdisk dan juga buku diary kosong berwarna merah hati itu.
Hari ke empat
dia mulai sadar betapa besarnya cintaku padanya, ketika dia mulai membuka isi
diary di dalam flashdiskku.
Hari ke lima bersama dengan Sangay
dan Dhion, Gyutso, memanjatkan pujiannya kepada Dewa memohon untuk
keanugerahanku di surga. Aku melihat Gyutso menangis menatap Sangay dan ia
merasakan bahwa diriku ada pada Sangay.
Hari ke enam
Dhion mulai memberikan surat
yang pernah aku titipkan itu kepada Gyutso. Gyuto memulai membacanya dengan
hati sangat teriris, dia menyalahkan dirinya bahwa betapa bodoh cinta yang
dimilikinya.
Hari ke-tujuh,
hari terakhir dimana aku kali terakhir melihat mereka, terutama Gyutso.
Aku melihat
Gyutso menggiring mobilnya menuju rumahku masa SMA itu dan bergegas ke taman
mawar, yang sekarang telah dikembangkan oleh Pak Kiwil menjadi sebuah toko
bunga mawar merah hati yang diberinya nama Siwie’s
Heart Rose.
Dia mulai
memetik satu bunga, dan merasakan kedatanganku ketika memejamkan mata sembari
mencium kelopaknya. Ia melihatku berjalan menuju arahnya, dimana aku memakai
pakaian putih bersih. Matahari semakin tenggelam dan cuaca mendung mulai hujan
deras. Gyutso meraih jemariku, namun tangga surga telah turun, dan sayap di
punggung mulai mengepak. Aku berjalan mundur di anak tangga dan berteriak,
“Aku sayang
kamu!!!! Cintai Sangay seperti aku mencintaimu… hikss… aku akan senang di sini
bersama Micky, kau tak usah mengkhawatirkanku”
Aku membisikkan
sekali lagi “goodbye forever…”.
Tubuhku terlihat
menjadi butiran udara, walaupun aku tak ada dan tak terlihat namun aku akan
selalu memberimu nafas bagi hidupmu dan juga keluargamu. Langit semakin petang,
hujanpun sebegitu derasnya mengakhiri perjalanan kisah tiga insan.
CREATED BY ANDHIKA PUSPITA SIWI
DATE DECEMBER 2010
DATE DECEMBER 2010
ANYTIME I WILL POST IT IN ENGLISH
IF YOU FIND ANY SIMILAR THINGS(NAME, PLACE, ETC), FORGIVE ME BECAUSE THIS IS JUST A FICTITIOUS STORRY.
IF YOU FIND ANY SIMILAR THINGS(NAME, PLACE, ETC), FORGIVE ME BECAUSE THIS IS JUST A FICTITIOUS STORRY.
SUPPORT ME TO REALISE THIS NOVEL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar