HARUM
PUSPITA
Karya: Andhika Puspita Siwi
“FUUH...” nafas dinginku menendang keras
api lilin. Namaku Harum Puspita kini umurku menginjak 15 tahun, aku tinggal
bersama nenek. Nenek selalu mengatakan padaku bahwa orangtuaku telah meninggal.
Namun kini aku bukan anak kecil lagi yang bisa dibohongi, mereka meninggalkanku
karena aku mengidap penyakit HIV, dan nenek selalu menolakku untuk pergi ke
sekolah dengan alasan bahwa sekolah itu tidak penting, padahal yang
sesungguhnya mereka menolakku. Untuk menutupi kebohongannya nenek membelikanku
laptop dan mengajariku untuk memakai internet, dan ia juga yang mengajariku
menulis dan membaca dengan baik. Aku memang tidak pernah mendapatkan pendidikan
tetapi aku selalu belajar secara otodidak melalui internet. Sudah ke sepuluh
kalinya aku menampilkan artikel mengenai HIV di situs Webku namun belum satupun
orang memperdulikannya. Aku juga membuat halaman permintaan bantuan di facebook,
sebanyak 10.000 orang menyukainya namun tak kunjung datang bantuan tersebut. Oh
ya aku punya teman cowok namanya Chio Wang dari Jawa tetapi keturunan Cina. Dia
menyukai semua artikelku yang ia baca lewat internet, bahkan ia mengajakku
untuk bertemu.
Malam itu ketika nenek tertidur, aku memberanikan diri untuk loncat
melalui balkon dan menemui Chio di sebuah Kafe Bali. Aku memakai jaket tebal dan penutup
mulut. “Hai namaku Harum Puspita umurku 15 tahun baru saja” ucapku di
hadapannya, “ah, hai Puspita silakan duduk” kami saling memandang “kenapa kau
memakai masker?”, “nggak apa cuman sedikit flu” aku menundukkan kepala sembari
menahan air yang menggenang di permukaan mata. Maaf Chio, aku berbohong sesungguhnya aku mengidap AIDS, aku hanya
tidak ingin kau menjauhi dan mengucilkanku. Sejak pertemuan itu kami saling
dekat hingga suatu hari kami menjalin hubungan berpacaran.
“Puspita!! Apa yang kau lakukan?!”
sentak aku yang sedang melangkah mundur dari balkon langsung terjatuh mendengar
sentakan nenek. “aku... ha..nya...ber..diri di sini..”, “bohong! Nenek tahu apa
yang kamu lakukan setiap malam!! Apa kata tetangga?! kamu ini pengidap AIDS
tapi setiap malam selalu pergi!” sentak air mata ini bercucuran deras membasahi
pipi, dengan tersedu-sedu aku membalasnya dengan nada tinggi, “Nenek!! Aku memang
pengidap AIDS!! Tapi apakah aku tidak boleh mempunyai hak yang sama seperti manusia
biasa yang hidup sempurna yang bisa
merasakan sekolah, disayang orangtua, bisa pergi bersama teman-temannya?! Mengapa pengidap AIDS seperti aku ini tidak
boleh mempunyai hidup yang sama seperti mereka?! mengapa pengidap AIDS selalu
dikucilkan?! mengapa!”, “Stop!! Mulai sekarang jangan berhubungan ataupun
berpacaran dengan cowok itu!!”, “Nenek! Aku seorang pengidap AIDS, tapi aku
tahu aku nggak berhak berpacaran karena tidak mungkin! Karena aku tidak akan lama
di dunia ini! Bahkan aku akan mendahuluimu, nek...” “Puspita! Hentikan
pembicaraanmu” sentak nenek sambil membalikkan badan dengan memegang dadanya
seperti menahan tangis. Maafkan aku nenek...
ini bukan yang aku mau.
Air mataku terus mengalir deras,
kekebalan tubuhku semakin menurun, dengan keras aku memaksa jari-jariku untuk
menulis sebuah cerpen untuk Chio yang akan ku kirimkan pada sebuah majalah malam
itu juga. Setelah itu aku menemui Chio dari kejauhan, “Puspita kenapa kau
menjauhiku seperti itu?!”, “mulai sekarang jauhi aku!!” teriak ku sambil
membalikkan badan dan berlari kecil, Chio menyusulku dan memegang pundakku
sembari membalikkan badanku, “lihat! Airmata kamu, aku nggak suka itu!”
marahnya sembari memelukku dan mendekati bibirku, sentak aku menampar dan
mendorongnya hingga terjatuh aku lari meninggalkan tempat itu, Chio tetap
mengejar dan berteriak, “aku tak tahu apa yang terjadi?! Kau menamparku hingga
jatuh seperti ini”, aku mendekatinya dan berkata dengan tegas, “aku mengidap
AIDS.” Sentak pupilnya mengecil dan berjalan mundur menjauhiku, “aku tahu Chio
kamu sangat membenciku dan malu padaku, aku juga tidak ingin hidup seperti ini,
aku janji aku tidak akan menemuimu lagi”. Pandanganku mulai kabur, nafasku sesak,
badanku lemas. 5 hari aku tidak sadarkan diri bahkan Dokter memfonisku bahwa
aku akan meninggal bulan itu juga. Nenek selalu berada di sampingku sembari
melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, hingga membuat hati ini sejuk. Perlahan
aku membuka mata, aku melihat Nenek, dan Chio sentak bibir ini terangkat ke
atas. Kepalaku mulai pening ketika melihat banyak orang dan kamera di sekeliling ruang. Ternyata
dalam waktu 3 hari cerpen nyata tentang diriku telah populer di majalah-majalah
terkenal, bahkan sekarang cerpen itu diperpanjang untuk pengerjaan film layar
lebar. Satu bulan kemudian setelah aku pulih total, aku menerima wartawan untuk
mewawancaraiku, Dokter yang menanganiku saat itu juga hadir dan berkata bahwa
ia tidak percaya, “Saya kagum dengan anak ini”, “Saya akan berjuang untuk tetap
hidup dan memberikan semangat kepada pengidap AIDS di seluruh dunia seperti
saya bahwa kita berhak mendapatkan pengobatan supaya hidup sempurna”.
Satu tahun kemudian tepat cerpenku menjadi
populer di dunia, dan film yang diangkat nyata dari kisahku aku dipercayai
untuk menjadi duta besar penyakit HIV sedunia dan diberi kesempatan untuk
berpidato di Colombia University yang dihadiri oleh Presiden Obama, sebelum
pada akhirnya aku menutup mata tepat di hari ulangtahunku yang ke 16. “Nenek
maafkan... aku ingin tinggal tenang. ini semua bukan yang aku mau nek. Aku juga
ingin hidup sempurna tak ada airmata dan derita di dunia. Tapi aku nggak bisa
menentang garis kehidupan. Ikhlaskan aku untuk pergi di sisi Allah SWT dengan
tenang, nek”, Nenek memegang tanganku kencang dan menangis deras. Aku membasuh
airmatanya, “nenek... aku ingin melihat nenek tersenyum untukku kali
terakhirnya” Dengan mata yang sembab
nenek menunjukkan senyum manisnya di hadapanku. Akupun membalasnya
dengan senyuman dan meninggalkan kenangan. Chio yang saat itu menuju rumahku
dengan membawa bunga sentak terjatuh dan menangis tersedu-sedu saat melihat
bendera kuning terpasang di pagar rumahku dengan beberapa orang yang memakai
baju hitam sembari melantunkan surat Yassin. Saat terakhir aku menutup mata dan
meninggalkan dunia aku harap namaku tetap dikenang sebagai Harum Puspita, yaitu
bunga yang harum.
Nb: if you found any similar things in this story just pardon me, because this is only story.
i makes the english version later. will post u as soon as i can.